Selasa, 18 November 2008

Tiga Sikap Seorang Pengubah

Oleh : Paulus Bambang W.S.

“God grant me the SERENITY to accept the things I can not change, COURAGE to change the things I can and WISDOM to know the difference”.
Plakat yang berisi kalimat bijak tersebut terpampang di dekat meja kerja lebih dari sepuluh tahun. Pada bulan puasa ini, kalimat ini kembali menyentak saya. Tanpa sadar, sewaktu melewatkan waktu untuk bermeditasi siang hari di saat perut kosong, saya seakan-akan ditarik ke plakat yang berbentuk kitab suci tersebut. Kalimat itu seakan berkotbah pada saya. Inti kedamaian dari kegalauan hati adalah serenity, courage dan wisdom. Tiga sikap yang mesti selalu dimainkan dan ditimbang. Bagai seperangkat senjata yang tak harus diayunkan secara bersama. Kadang harus memilih yang satu dan melupakan yang lain. Tentunya, dengan kesadaran konsekuensi masing-masing.
Keinginan mengubah sesuatu di sekitar yang tak cocok dengan kata hati dan pikiran memang membuat hati galau dan gundah. Kenapa begitu dan bukan begini? Kenapa sulit menerima paradigma baru? Kenapa yang seharusnya didemosi malah selalu mendapat promosi? Kenapa yang bergaya preman malah jadi petinggi, sedangkan yang bergaya ulama hidupnya terseok ke belakang? Semakin bertanya, semakin hati ini tak nyaman karena jawaban makin jauh tersedia.

Karena berpuasa, siang itu saya punya waktu luang untuk membaca buku Joel Osteen yang jadi best seller di New York Times. Judulnya, Your Best Life Now. Pikiran saya kembali ditarik pada sebuah cerita yang tertulis di sana. Ini cerita lama yang sudah sering saya baca. Namun entah kenapa, siang itu, cerita ini menjadi bersinar. Sangat sejalan dengan tulisan di plakat tadi.

Begini ceritanya. Pada suatu malam yang sangat gelap pekat, seorang nakhoda kapal melihat ada sinar di depan yang seakan-akan muncul mendekat. Kepekatan malam dan awan membuat ia seolah-olah tak sempat bermanuver untuk menghindari tabrakan. Dengan sigap ia menggunakan radio untuk mengirim sinyal agar kapal tersebut berubah haluan 10 derajat ke timur.

Beberapa detik kemudian, ia mendapat pesan balik: ”Tak dapat saya lakukan. Ubahlah haluan Anda 10 derajat ke barat”, begitu pesan singkatnya. Kapten kapal tersebut menjadi sangat marah. Ia kembali mengirimkan pesan: ”Saya kapten Angkatan Laut, saya minta engkau yang mengubah haluan.” Ia mendapat pesan balik yang berbunyi: ”Saya hanya pelaut kelas dua, tak dapat lakukan itu. Ubah haluan Anda.”

Kapten menjadi curiga dan mengirimkan pesan terakhir: ”Saya berada di kapal perang dan saya tidak akan mengubah arah”. Tak lama kemudian ia mendapat pesan balik lagi: ”Saya berada di mercusuar. Tak mungkin saya mengubah arah. Terserah Anda Tuan.”

Saya tersenyum lepas. Saya juga seperti kapten yang sering bersitegang dengan mercusuar dan batu karang. Saya lelah karena berupaya tanpa hasil nyata. Benar kata pepatah, “Smart work is better than hard work”. Kadang sudah bekerja keras untuk mengubah, tapi tak ada hasil nyata. Kadang dengan upaya yang sedikit, perubahan datang deras bagai air bah. Ini bukan soal mistis. Akan tetapi, mengenali dengan hati terbuka apa yang ada di depan sana. Perubahan terbesar kadang bukan pada objek yang di depan, justru pada diri sendiri.

Ada tiga sikap yang perlu menjadi pertimbangan dalam menangani sebuah perubahan. Baik perubahan soal nilai hidup, pekerjaan, keluarga, ekonomi maupun bidang spiritual sekalipun.

Sikap pertama soal perubahan yang penting adalah serenity. Suatu sikap yang tenang, tenteram, dan berani menerima kenyataan bahwa banyak hal yang tidak mungkin kita bisa ubah, apalagi secara frontal dan instan. Budaya perusahaan yang sudah merasuk, praktik bisnis yang telah mendarah daging, konflik politik antarpemimpin yang kronis dan berbagai sistem prosedur yang sudah terkontaminasi pikiran dikorupsi adalah sedikit contoh sesuatu yang lebih kokoh dari mercusuar.

Serenity berarti berani berkontemplasi, mampukah melakukan perubahan. Kalau tidak, hanya ada dua pilihan. Menerima kenyataan itu dengan legowo, bukan lantas frustasi dan apatis. Namun langkah demi langkah, menundukkan sesuatu yang mudah dikalahkan. Memerlukan waktu tahunan untuk mengubah kultur yang sudah berusia satu generasi. Bukan berarti mustahil. Hanya butuh kesabaran untuk jadi pengubah. Bahkan kadang, hasilnya baru akan terlihat pada pemimpin selanjutnya. Setidaknya, Anda telah jadi penabur benih perubahan. Atau, mundur teratur dari gelanggang dan mencari tempat lain.

Sikap pengubah kedua adalah pada courage, semangat melakukan perubahan kala kemungkinan itu ada. Menggunakan otoritas yang ada untuk menegakkan kebenaran adalah mutlak. Untuk kasus yang satu ini, tidak ada kata lain selain bertempur sampai titik darah penghabisan. Kebenaran harus di atas kebaikan. Nilai-nilai hidup harus di atas kinerja bilangan. Ini harus dilawan tanpa kompromi sekalipun harus meletakkan jabatan. Berperang melawan prinsip adalah soal sikap hidup. Sebuah keberanian hakiki yang mutlak bagi yang menganut "principles driven leadership".

Sikap ketiga adalah pada aspek wisdom, kebijakan membedakan kapan memakai senjata serenity dan kapan mengayunkan courage. Wisdom bukan berarti kompromi dalam arti sempit. Wisdom adalah simbol kesadaran mutlak kapan mengalah dan kapan harus mengalahkan. Kapan harus marah dan kapan harus ramah. Ini hanya bisa dipupuk dengan knowledge dan knee. Knowledge berarti pengetahuan dan pengalaman. Dan, knee artinya banyak doa alias modal dengkul kepada sang Pencipta. Sikap inilah yang akan secara gamblang dan gampang mampu membuka mata hati kita apakah kita sedang menghadapi mercusuar, kapal musuh atau kapal rekan.

Artikel ini diambil dari Majalah SWA

Tidak ada komentar: